NAMA: SITI ULFAH
NMP: 15.02.1854
SMT/PRODI: V/AS
IAID CIAMIS
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kesetaraan Gender dalam
Hukum Islam
Dosen Pengampu Dr.Sumadi M.Ag
BIAS GENDER DALAM ISLAM, SEKSUALITAS DAN HUMOR DI LINGKUNGAN
PESANTREN
Penelitian mengenai kesetaraan gender terutama di lingkungan
pesantren merupakan salah satu yang luput dari perhatian. Di lingkungan
pesantren jika diteliti menggunakan pendekatan feminis dan kesetaraan gender
terlihat adanya bias gender. Pada zaman dulu pesantren hanya untuk laki-laki,
namun dengan adanya kemajuan zaman, sekarang peantren bukan hanya bagi
laki-laki namun bagi perempuan pula.
Pesantren merupakan lembaga nonformal yang mengkaji berbagai ilmu
agama Islam. Diantanya ilmu fiqih, tafsir, tauhid, aqidah dan lain-lain. Dalam
Islam kitab-kitab Fiqih karya Ulama terdahulu dianggap sebagai kitab berisi
teks suci yang tidak memerlukan penafsiran kembali. sehingga jika di dalamnya
terdapat bias gender baik terhadap laki-laki atau perempuan, akan tetap dipatuhi.
Humor merupakan salah satu media hiburan yang dianggap sepele,
namun humor bisa menjadi salah satu alat interaksi yaitu untuk menyampaikan
pendapat, kritikan, nasihat atau hanya hiburan saja. Di pesantren humor telah
terlembagakan namun sayangnya banyak teks-teks yang mengeksploitasi seksulitas
dan tubuh perempuan. Sehingga penghargaan terhadap kesetaraan gender kurang
diperhatikan.
Dalam penelitian ini pesantren yang diteliti adalah pesantren
salafiyah dan modern di Jawa Barat, diantaranya Pesantren A Hasan Ciamis, Pesan
Al Hamidiyyah Langkaplancar Pangandaran, Pesantren Miftahul Huda Manonjaya
Tasikmalaya, Pesantren Miftahul Huda II Ciamis, Pesantren Ar-Risalah Cijantung,
Pesantren Darussalam Ciamis, dan Pesantren Miftahul Ulum Ma’arif.
Kajian ini memfokuskan pada Islam dan seksualitas yang menjadi
dasar pembentukan humor di pesantren. Pendekatan yang digunakan dalam kajian
ini adalah pendekatan kualitatif dengan perspektif feminis. Cara mendapatkan
data-datanya yaitu dengan observasi, wawancara kepada agen-agen pesantren,
sedangkan dokumentasi didapatkan dari buku-buku humor yang ada diterbitkan tim yang bernama batscom (barudak comedi )
Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya.
Islam yang bias gender di pesantren ditandai dengan dominasi
pemahaman Islam patriarki. Pemahaman patriarki masih mengakar di lingkungan
pesantren. Relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kitab-kitab di pesantren
dianggap sebuah ketentuan baku dan tidak perlu disesuaikan dengan zaman.
Laki-laki dianggap lebih mumpuni dalam hal intelektual, politik dan ilmu public
lainya. Sedangkan perempuan cukup mendalami ilmu-ilmu privat saja.
Implikasinya secara hirarkis perempuan tidak mendapatkan tempat
yang setara. Laki-laki dianggap lebih pantas menjadi pemimpin. Maka di
pesantren-pesantren kepemimpinan secera otomatis turun temurun diserahkan
kepada anak laki-laki. Hal ini menyebabkan terbatasnya gerak perempuan dalam
masalah kepemimpinan.
Dalam budaya interaksi sosial, budaya pesantren mendefinisikan
perempuan sebagai makhluk yang memiliki intelektual dan fisik lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Selain itu perempuan juga dianggap memiliki syahwat
yang lebih besar dari pada laki-laki. Adanya anggapan ini secara tidak langsung
menganggap bahwa kebutuhan utama perempuan adalah memuaskan nafsu seksnya.
Bias gender ini terjadi ketika laki-laki dianggap sebagai makhluk
superior dan perempuan makhluk imperior. Kepemimpinan, waris, politik lebih
pantas diemban oleh laki-laki. Perempuan cukup menjalankan tanggung jawab rumah
tangga saja dan mematuhi segala perintah laki-laki. Bias gender ini juga bisa
terlihat ketika membahas mengenai keilmuan, kepemimpinan, kekayaan politik
kontekstualisasinya laki-laki. Sedangkan ketika membahas keta’atan, pengorbanan
pasangan, kesabaran kontekstualisasinya perempuan.
Bias gender pada humor-humor di pesantren terlembaga dalam budaya
pesantren yang disosialisasikan melalui interaksi sosial sehari-hari antara
santri, guru, dan kiayi dalam pengajian-pengajian, ceramah umum,
nasehat-nasehat seperti nasehat pernikahan.
Humor bagi pesantren merupakan sebuah bentuk ekspresi lucu sebagai
alat memperkuat komunikasi dakwah dan pembelajaran Islam. Namun sangat
disayangkan, setelah dilakukan pengkajian dengan pendekatan feminis, banyak
teks-teks humor yang menunjukkan bias gender. Didalamnya banyak mengeksploitasi
tubuh perempuan, stereotip terhadap perempuan, objektifikasi seksualitasndan
domestifikasi terhadap perempuan.
Pengembangan diskursus Islam yang ramah perempuan harus dimuat
dalam kurikulum pesantren yang terstruktur. Humor disusun tanpa mengkerdilkan
perempuan dengan tidak menghargai kesetaraan gender di dalamnya.
(Sumadi, Islam dan Seksualitas Bias Gender dalam Humor Pesantren,
2017, El Harakah. Vol 19) Hlm: 21-40.
PENGEMBANGAN EPISTEMOLOGI FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM DI PERGURUAN
TINGGI INDONESIA: Studi Kasus Program Studi Akhwal Syaikhsiyah Institut Agama
Islam Darussalam Ciamis.
Masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini
adalah pengembangan epistemologi berperspektif feminis dalam ranah akademis. Program
Studi Ahwal Syaikhsiyah di perguruan tinggi Islam di Indonesia termasuk yang
memiliki keeratan dengan internalisasi nila-nilai kesetaraan gender. Salah satu
pengembangan dilakukan oleh program
studi Ahwal Syaikhsiyah Institut Agama Islam Darussalam Ciamis
Fakultas Syari’ah program studi Ahwal
Syaikhsiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis menjadi salah program
studi yang mengkaji hukum keluarga Islam dengan mendasarkan pada pengembangan
epistemologi berperspektif feminis di Indonesia.
Kajian
agama Islam menggunakan pendekatan feminis dengan alat analisisnya gender
dianggap sebagai liberalisasi dalam keagamaan. Kontra atas pengembangan
feminisme dalam pendekatan kajian Islam disebabkan oleh paradigma yang digunakan dalam proses
pengembangan atmosfir akademik masih didominasi oleh cara pandang yang
mengistimewakan laki-laki.
Kedua, Faktornya yang mendasar adalah sejarah
panjang budaya akademik dalam kajian Islam masih merujuk sumber-sumber
literatur dari abad pertengahan (abad VII-XIV). Perjalanan jaman di berbagai
belahan dunia yang belum mengenal kesetaraan dan keadilan gender.
Ketiga, penguatan ideologi konservatif.
Penguatan gerakan untuk menjaga nilai-nilai kemurnian agama berimplikasi pada
penggiringan monotafsir atas ragam pandangan agama Islam.
Implikasinya hasil atmosfir akademik dan
program-program penelitian lebih banyak memperkuat posisi laki-laki lebih
superior dibanding dengan perempuan. Pemahaman realitas masalah, metodologi
penelitian, dan nilai-nilai yang dikembangkan tidak mendorong pada pembentukan
kondisi sosial masyarakat yang ramah terhadap perempuan.
Akar Pengembangan Epistemologi Feminis dalam Kajian Islam
Pengembangan epistemologi feminis yang dikembangkan dalam dunia
akademik berakar pada gerakan politik aktivis perempuan yang memberikan kritik
pada secara luas terhadap ilmu sosial pada tahun 1970an. Gerakan feminis masuk
dalam ranah akademis dengan perjuangan mewujudkan konstruksi ilmu yang berdasar
pada pengentasan ketertindasan perempuan.
Wacana
gender mulai dikembangkan di Indonesia pada era 80-an, tapi mulai memasuki isu
keagamaan pada era 90-an. Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada tahun
1990-an. Spirit menjadikan dunia akademik sebagai medan perjuangan mewujudkan
nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender telah menjadi kesadaran bagi
perguruan tinggi Islam.
Pengembangan
Epistemologi Feminis di Program Studi Ahwal Asyaikhsiyah
Epistemologi
merupakan bagian penting dari prosedur dalam produksi ilmu pengetahuan. Dalam
konteks ini epistemologi feminis merupakan sebuah tradisi akademik yang kritis.
Epistemologi feminis merupakan epistemologi ilmu sosial utuk menguji relasi
gender dengan kekuasaan. Asumsinya kekuasaan yang memproduksi ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu dalam pandangan feminis bahwa ilmu pengetahuan yang
dikembangkan tidak bebas nilai.
Pengembangan
epistemologi feminis di Program Studi Ahwal Asyaikhsiyah IAID Ciamis melalui
berbagai program kegiatan. Di antara
program-program yang dijalankan adalah sebagai berikut:
- Pendirian Pusat Studi Perempuan
- Pengembangan Kurikulum Berperspektif Gender
- Pembelajaran Kuliah Berperspektif Gender
- Pengembangan kapasitas dosen
- Pengembangan riset berperspektif feminis
Jalan
Panjang Mendobrak Tatanan Akademis Patriarki
Program Studi Ahwal Syaiksiyah Fakultas Syari’ah merupakan program
studi pertama sejak didirikannya Institut Agama Islam Darussalam Ciamis pada
tahun 1970. Perguruan tinggi ini berada di naungan pondok pesantren Darussalam
Ciamis.
Sejarah panjang kajian Islam yang mendasarkan pada perspektif patriarki
menjadikan pengembangan perspektif feminis menghadapi sejumlah tantangan, di
antaranya: pertama, masih terdapat generasi tua yang telah nyaman dengan
ideologi yang dominan sehingga kesetaraan gender dianggap bertentangan dengan
kaidah-kaidah Islam.
Dalam dunia akademik epistemologi feminis
masih mengalami marjinalisasi. Akan tetapi arah perubahan menuju tatanan ilmu
pengetahuan Islam yang berkesetaran gender makin menuju titik pencerahanan. Dalam
konteks ini, di Indonesia pengembangan epistemologi feminis dalam kajian Islam
dengan tahapan sistematis dari mulai pengembangan perspektif kajian disiplin
ilmu, kurikulum, pembelajaran, dan penelitian dengan perspektif feminis membuka
ruang secara sistematis natural akademik mendobrak tatanan yang patriarki.
TUBUH
PEREMPUAN MERUPAKAN TAWANAN PENJARA MEDIA, DALAM HAL INI PERLU ADANYA
PEMBEBASAN
Tubuh sebagai subjek realitas (khalifah), seharusnya disadari bahwa
tubuh ada, berada dan berbeda. Namun tubuh sebagai objek merupakan alat
pertarungan bagi berbagai kepentingan ideologis. Bodyimage yang
termediasi melalui media lewat berbagai konsumsi tanda dapat dilihat sebagai
suatu gejalakematian manusia sebagai subjek. Tubuh diatur oleh media agar
mencapai apa yang diinginkan. Ini sebagai tanda bahwa tubuh telah mati sebagai
subjek.
Secara fisik
tubuh adalah badan perseorangan yang terdiri dari sejumlah organ biologis atau dapat
disebut juga sebagai keseluruhan jasad manusia. Seiring berjalannya waktu tubuh
terus tumbuh dengan perawatannya. Konsumsi tubuh mempengaruhu pada pertumbuhan
tubuh. tubuh Namun makna konsumsi tubuh bukan hanya pada makanan sebagai
pengaruh pada pertumbuhan. Konsumsi menghadirkan makna yang lebih luas yaitu
sebagai konsumsi tanda. Misalnya agar tubuh terlihat indah maka perlu
kedisiplinan dalam pola makan dan perawatan seperti lulur, salon, dan olahraga.
Tubuh telah
bergeser menjadi pagelaran dan makna, terutama tubuh perempuan. sebagai contoh
harga mobil yang mahal biasanya terdapat foto perempuan yang tinggi, cantik dan
seksi.ini menandakan bahwa tubuh perempuan dijadikan sebagai tanda harga pleh
perusahaan.
Segala hal yang ada di tubuh atau
melekat di tubuhperempuan selalu mampu memancing gairah, selera dan gaya. Gaya
rambut, kuku, pinggang, dada merupakan pusat gairah yang biasa di pertontonkan
melalui madia. Tubuh menjadi sarana sekaligus pusat kisah tentang demonstrasi
dan perlawanan sebuah ideologi yang sengaja disampaikan, disamarkan atau
disembunyikan melalui berbagai pesan simbolik.
Menurut catatan Rogers tubuh mengalami
suatu eksploitasi sejak industri menjadi peradaban baru manusia pada era
renaisans yang melahirkan modernitas. Tubuh manusia yang awalnya alami kini
telah beralih menjadi tubuh sosial. Tubuh dijadikan sebagai konsumsi public
dengan berbagai tujuan dan kepentingan di dalamnya.
Berbagai
teknologi komunikasi massa seperti televisi dan internet bergerak bukan saja
sebagai sarana penyebaran berbagai pesan, tetapi juga sebagai jembatan bagi
lalu lintas ideologis. Saat ini media (baik media massa maupun media sosial)
menjadi sektor yang paling berpengaruh dalam membentuk selera, hasrat dan
gairah tubuh.
Konsumsi
dalam arti yang paling netral tanpa muatan ideologis dapat dipahami sebagai
suatu aktivitas membeli, memiliki, menggunakan,mengurangi atau menghabiskan
nilai guna suatu barang atau jasa untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.
Pergeseran
makna konsumsi melalui berbagai interelasi yang menciptakan masyarakat
konsumertersebut dijelaskan oleh Featherstone dengan menawarkan tiga perspektif
utama mengenai budaya konsumer yaitu: budaya konsumer dilihat dari
ekspansiproduksi komoditas kapitalis, perspektif budaya konsumer dilihat dari perspektif
sosiologis dan perspektif budaya konsumer dilihat dariperspektif kepuasan
psikis seperti kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, hasrat
atau khayalan budaya konsumer.
Masyarakat
konsumsi merupakan tema penting yang digagas pemikir postmodernisme, Jean
Baudrillard. Baudrillard membangun gagasannya tentang masyarakat konsumsi
setelah menyingkap tabir relasi kuasa produksi, konsumsi, tanda dan media. Analisis
semiologi Baudrillard menunjukkan adanya sistem tanda yang dibentuk oleh
produsen dan perbedaan kelas pada populasi tertentu.
Body
image merupakan bagian konsep diri tentang bentuk fisik. Hal ini menekankan
bahwa body image sesungguhnya bukan tentang bentuk tubuh, tetapi cara seseorang
melihat dan mengevaluasi bentuk tubuhnya.
Selanjutnya
menurut Turner, dalam konteks demikian tubuh menjadi terkait dengan reproduksi,
resolusi, representasi dan restraint. Pada reproduksi, tubuh bukanlah benda
fisik berupa organ biologis. Tubuh adalah pasar berjalan, tempat berbagai benda
dijajakan melalui suatu system pemaknaan budaya. Pada resolusi, tubuh adalah arena
kepatuhan sosial. Pada konteks ini tubuh adalah prilaku sosial yang
mencerminkan nilai sosial tertentu. Pada representasi, tubuh adalah cermin
palsu suatu kehidupan yang hiper realitas.
Media
merupakan salah satu faktor terbesar yang dianggap berpengaruh terhadap
pembentukan tubuh ideal. Tubuh ideal bukan lagi tubuh yang menta’ati etika
tubuh yang yang baik menurut peraturan media, terutama tubuh perempuan. Ada
norma tubuh yang termediasi untuk body image dalam budaya masa ini, dani tu
dikarakteristikkan oleh tubuh yang sangat kurus. Padahal media arus utama
adalah sumber yang dicari perempuan untuk mengetahui informasi mengenai
bagaimana mereka berbusana. Sehingga perempuan sebagai penikmat berat media arus
utama, akan menempatkan tubuh kurus adalah tubuh ideal.
Melihat
keadaan yang sangat miris, perlu adanya pembebasan tubuh perempuan dari penjara
media, mengembalikan kembali tubuh yang menjadi objek kepada subjek lagi.,
yaitu menjadikan manusia sebagai subjek, Manusia sebagai subjek adalah manusia
yang berfikir (ilmu pengetahuan),
menyeru pada kebaikan (humanisasi/emansipasi), mencegah pada kemungkaran
(liberasi) dan beriman pada Allah Swt (transendensi). Empat dimensi tersebut merupakan
jalan profetik membebaskan tubuh dari penjara media dan ancaman decentering of
the subject.
(Iswandi
Syahputra, Membebaskan Tubuh Perempuan dari Penjara Media, 2016, Musawa, Vol 2) Hlm: 157-180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar