NAMA : ICEP MAULANA MANSUR
HIDAYAT
NIM : 15.02.1845
FAK/PRD/SMT : SYARI’AH / AS / V.
MATA
KULIAH : GENDER DALAM PANDANGAN
ISLAM
DOSEN : DR. SUMADI, M.Ag
TANGGAL : 5 Januari 2017
TUGAS : RIVIEW JURNAL
JUDUL
JURNAL KE- 1 : PENGEMBANGAN EPISTIMOLOGI FEMINIS DALAM
KAJIAN ISLAM DI PERGURUAN TINGGI INDONESIA : Studi Kasus Program Studi Ahwal
Al-Syakhsiyah IAID Ciamis
VOL
& HAL :
Vol.12 No.1 Tahun 2017
PENULIS :
DR. Sumadi, M.Ag ( Dosen Pascasarjana IAID Cms )
REVIEWER
:
Icep Maulana. MH (Mhs. Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Cms)
POTRET EPISTIMOLOGI FEMINIS DALAM RANAH
AKADEMIS DI PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYAH IAID CIAMIS
Fakultas Syari’ah program studi Ahwal
Syaikhsiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis menjadi salah program
studi yang mengkaji hukum keluarga Islam dengan mendasarkan pada pengembangan
epistemologi berperspektif feminis di Indonesia. Sebuah perspektif kritis yang
bertujuan untuk mengubah keadaan atmosfir akademik yang cenderung berpihak pada
salah jenis kelamin tertentu menuju keadaan yang berkesetaraan. Padahal
perspektif feminis dalam dunia akademik belum mendapat sambutan yang serius
dari perguruan tinggi Islam. Cara pandang yang patriarki masih mendominasi
atmosfir akademik perguruan tinggi Islam. Kajian Islam yang menjadi basis
kajian hukum keluarga Islam di Fakultas Syari’ah khususnya program studi Ahwal
Syaikhsiyah masih merujuk pada sumber
fiqh-fiqh yang telah mapan di lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Padahal
jika melihat perempuan dalam fiqh, maka perempuan ditempatkan sebagai objek
laki-laki, posisinya sebagai domestik, dan dalam konteks sosial harganya
setengah dari laki-laki dan kuasanya di bawah laki-laki.
Para feminis muslim meyakini bahwa kesetaraan
gender adalah misi yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Secara teologis ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadist dipandang memiliki keberpihakan yang kuat terhadap
pembelaan atas penindasan terhadap perempuan. Oleh karena itu gender masuk
dalam kajian Islam didasari oleh keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sejak
disebarkan risalahnya oleh Nabi Muhammad SAW memberi perhatian yang serius
untuk melakukan pembebasan terhadap perempuan sebagai kaum yang tertindas.
Program
studi Ahwal Syaiksiyah yang disebut juga dengan hukum Islam tentang keluarga
memuat kurikulum yang berisi matakuliah tentang kajian hukum di lingkungan
keluarga. Hukum-hukum yang terkait dengan keluarga masih didominasi oleh norma
hukum yang patriarki. Oleh karena itu pengembangan epistemologi feminis sebagai
basis pengembangan atmosfir akademik yang dapat mewujudkan keberpihakan pada
keadilan perempuan menjadi keniscayaan. Pengembangan epistemologi feminis di
Program Studi Ahwal Asyaikhsiyah IAID Ciamis melalui berbagai program kegiatan.
Pusat Studi Perempuan (yang kemudian
disingkat PSP) di Institut Agama Islam Darussalam Ciamis (yang kemudian
disingkat dengan IAID Ciamis) digagas langsung oleh rektor. Dengan
berlatarbelakang sebagai akademisi alumnus pendidikan doktor dari Universitas
Gadjah Madha Yogyakarta, pemahaman yang memadai tentang multikulturalisme dan
kesetaraan gender, rektor mendirikan PSP sebagai episentrum pengembangan kajian
Islam yang berperspektif feminis. Oleh karena itu PSP diposisikan menjadi motor
penggerak bagi program studi di lingkungan IAID Ciamis untuk mengembangkan
kurikukulum, pembelajaran, kajian, dan penelitian yang berperspektif feminis.
PSP merupakan istitusi yang berfokus pada
pendampingan program studi di lingkungan IAID agar menerapkan perspektif gender
dalam pengembangan perkuliahan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. PSP
didirikan sebagai bentuk respon atas atmosfir akademik yang didominasi oleh
cara pandang yang patriarki. Oleh karena itu pengurus PSP merupakan dosen-dosen
laki-laki dan perempuan di lingkungan program studi dan lintas fakultas yang
memiiki kepedulian terhadap perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Kegiatan
studi, kajian dan advokasi tentang kesetaraan gender oleh beberapa dosen dan
mahasiswa berdampak pada ketertarikan civitas akademika IAID untuk memperkuat
peran PSP sebagai pendamping fakultas dan program studi untuk mengembangkan
perspektif feminis dalam spesifikasi pembidangan keilmuan.
Visi perspektif feminis masuk dalam kerangka
matakuliah filsafat ilmu, metode penelitian, Kesetararaan Gender dan Hukum
Islam. Secara khusus terdapat
penambahan matakuliah kesetaraan gender dan Hukum Islam. Matakuliah ini
disajikan pada semester 4 sebagai dasar memberi perspektif feminis pada
matakuliah yang lainnya. Kemudian visi umum Fakultas menekankan kurikulum yang
memperhatikan perkembangan jaman, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender.
Tiga elemen dalam pertimbangan pengembangan kurikulum menjadi satu kesatuan
yang memperkuat penghargaan atas hak-hak perempuan. Matakuliah-matakuliah yang
berbasis pada hukum dan ajaran Islam secara umum diorientasikan menggunakan
basis baru yaitu adanya cara pandang kajian hukum Islam yang berkesesuaian
dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai kemanuisan dari substansi kesetaraan
gender dan hak asasi manusia. Terdapat tiga matakuliah yang menjadi dasar
pengembangan perspektif feminis. Yaitu Metodologi Studi Islam, Keadilan Gender
dan hukum Islam, metode penelitian, dan teknik penulisan skripsi/proposal
skripsi.
Pengembangan kapasitas dosen untuk memahami
epistemologi perspektif feminis dalam kajian Islam dilakukan dengan beberapa
program di antaranya: pertama, pengiriman dosen-dosen pada pelatihan-pelatihan
gender. Kedua, pelibatan dosen pada kepengurusan Pusat Studi Perempuan. Ketiga,
Program studi Ahwal Syaikhsiyah mendorong para dosen untuk melakukan penelitian
dengan epistemologi feminis sebagai basis pengembangan disiplin ilmu-ilmu
keislaman.
Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip
penelitian berperspektif feminis, dosen dan mahasiswa diarahkan untuk melakukan
penelitian dengan topik-topik yang mempromosikan tentang nilai-nilai kesetaraan
dan keadilan gender. Hasilnya secara umum untuk dosen, penelitian berperspektif
feminis yang dihasilkannya cenderung masih sedikit. Di antaranya penelitian
dengan judul Bias Gender dalam Kekerasan Rumah Tangga Berbasis di Lingkungan
Rumah Tangga Muslim, Bias gender di Lingkungan Pesantren Salafiyah dan Modern
di Indonesia, Islam dan Seksualitas Bias Gender pada humor-humor pesantren, dan
lain-lain.Untuk mahasiswa hasilnya pada dua tahun akademik yaitu tahun
2014-2015 dan 2015-2016 mayoritas persen melaksananakan penelitian dengan
perspektif feminis dengan tema-tema yang mengusung keadilan dan kesetaraan
gender.
Kekuasaan politik kampus yang dimiliki oleh
figur dan kelompok yang memiliki kesadaran pembelaan terhadap ketertindasan
perempuan secara akademis seperti di program studi Ahwal Syaiksiyah Institut
Agama Islam Darussalam Ciamis dan beberapa perguruan tinggi Islam lain di
Indonesia dapat menjadi cara yang efektif dalam membangun keasadaran akademis
yang ramah perempuan. Melalui epistemologi berperspektif feminis dalam kajian
Islam secara sistematis akan dapat mengubah wajah dunia akademis kampus yang
melakukan pembebasan atas perempuan dari ketertindasan dan diskriminasi.
JUDUL JURNAL KE- 2 : ISLAM
DAN SEKSUALITAS : BIAS GENDER DALAM HUMOR PESANTREN
VOL
& HAL :
Vol.19 No.1 Tahun 2017
PENULIS :
DR. Sumadi, M.Ag (Dosen Pascasarjana IAID Cms )
REVIEWER
:
Icep Maulana. MH (Mhs. Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Cms)
SPEKTRUM BIAS GENDER DALAM HUMOR PESANTREN
Humor menjadi bagian penting dalam pelembagaan
budaya pesantren, akan tetapi humor-humor di pesantren sering mengabaikan
nilai-nilai yang menghargai kesetaraan gender, seperti stereotof terhadap
perempuan, objektifikasi seksualitas perempuan dan dometifikasi perempuan. Pemahaman
Islam Pesantren yang patriarki menjadi akar pembentukan tema-tema humor yang
mengekploitasi tubuh dan seksualitas perempuan. Kajian humor dan seksualitas di
lingkungan pesantren di Indonesia termasuk yang luput dari perhatian.
Islam yang bias gender di pesantren ditandai
dengan dominasi pemhaman Islam Patriarki . cara pandang pesantren sampai saat
ini masih mempertahankan pemikiran Islam yang konserfatif.implikasinya
perempuan secara hirarkiss dalam budaya pesantren tidak mendapat tempat yang
setara. Urusan-urusan publik menjadi hak laki-laki. Dalam interaksi sosial
budaya pesantren mendefinisikan perempuan sebagai makhluk yang memiliki
kekuatan intelektual dan kecepatan fisik yang lebih rendah dibandng laki-laki.
Humor di pesantren yang mengandung bias gender
pada perempuan terlembaga dalam buday pesantren yang disosialisasikan melalui
interaksi sosial sehari-hari oleh para santri, guru dan kyai dalam ceramah umum
oleh para kyai di pesantren maupun dalam pembelajaran dan nasehat dalam acara
pernikahan, bahkan disalah satu pesantren ada yang secara khusus
mempublikasikan tema-tema humor dalam bentuk buku yang dicetak resmi, seperti
di pesantren Miftahul Huda Manonjaya.
Tema-tema yang menempatkan perempuan dan tubuh
perempuan sebagai objek humor melembagakan ideologi bias gender dengan
penekanan pada stereotif, objetifikasi dan domestifikasi terhadap perempuan.
Perempuan di puja puji tubuhnya tetapi dihinakan derajat dan hak-haknya.contoh
singkat bias gender dalam humor-humor pesantren dijabarkan sebagai berikut :
a. Stereotif Terhadap Perempuan
“aki-aki ompong
lamun boga imah sigrong, balong ngemplong, mobil ngadangdong, najan pipi
kemong, parawan oge pasti noong, komo randa nu nong nong”.
Dalam contoh ini
perempuan diidenfikasikan sebagai sosok yang lemah, memiliki ketergantungan
yang tinggi pada laki-laki, dan laki-laki dapat membeli perempuan dengan harta
yang dimilikinya.
b. Objektifikasi Seksualitas Perempuan
“Wahai anderok, dulu
bentukmu menembang seperti batok, yng dipotong memakai golok, kau sangat
panjang bagaikan balok, dan tebal seperti tembok, sehingga tidak mudah
ditengok, oleh mata-mata jorok, tapi kau semakin pondok, pahanya yang montok
tidak sedikit laki-laki yang mencoba merampok, kemaluanmu yakni tempat keluar
orok, wahai pengguna androk, apakah imanmu sudah menjadi rontok, sehingga
kemaluanmu tidak lagi kau patok”.
Dalam contoh ini
bagian tubuh perempuan yang sensitif menjadi sasaran humor.
c. Domestifikasi Perempuan
“Elmu mangrupa hiji
sarana, pikeun nangtukeun bagja na jalma, loba contona, jalma nu sangsara,
gara-gara teu boga elmu .....”.
Dalam contoh ini
perempuan ditempatkan pada tempat yang tersubordinasi. Jika humor-humor temanya
tentang pemimpin, orang berilmu, dan orang kaya konteksnya adalah laki-laki.
Tetapi jika humor temanya tentang pengabdian, kesetiaan dan pengorbanan
pasangann konteksnya menunjukan perempuan.
JUDUL JURNAL KE-3 : PENGGUNAAN HADITS-HADITS POLIGAMI DALAM
TAFSIR IBNU KATSIR
PENULIS :
Saifudin Zuhri Qudsy ( Dosen UIN SUKA Yogyakarta)
Mamat. S. Burhanudin ( Dosen UIN Jakarta )
REVIEWER
:
Icep Maulana. MH (Mhs. Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Cms)
PANDANGAN PARA MUFASSIR KONTEMPORER ATAS QS.
AN-NISA :3 ( AYAT POLIGAMI )
Menurut Sayyid Qutub (w.1996) mengatakan bahwa
poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Maka bisa dlakukan dalam keadaan
darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan inipun masih disyaratkan bisa
berbuat adil kepada istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam
bidang nafkah, muamalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi suami
yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja. Sementara bagi
yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh poligami maksimal dengan 4
istri.
Menurut Al-Sabuni menekankan pada hikmah
kebolehan poligami. Namun sebelum menjelaskan hilmah poligami Al-sabuni lebih
dahulu menekankan jumlah wanita yang boleh dinikahi maksimal hanya 4. Pendapat
ini didasarkan atas ijma’ ulama. Kebolehan poligami maksimal 4 ini pun bisa
dilakukan ketika dalam keadaan darurat dengan syarat berbuat adil.
At-Tabrani dalam mizan lebih dahulu
mengemukakan sebab turunnya An-Nisa :3 menurutnya ayat ini turun berkenaan
dengan kebiasaan orang Arab pra-Islam yang menikahi anak yatim karena
kecantikannya dan hartanya. Tetapi, mereka tidak memberikan mahar sejumlah yang
diberikan kepada wanita diluar anak yatim. Bahkan, ada pria yang ketika
hartanya habis kemudian istrinya dicerai. Maka turunnya ayat ini menujukkan
kepada mereka bahwa perbuatan demikian meruakan perbuatan tercela.
Muhammad Abduh menyimpulkan bahwa poligami
adalah perbuatan yang tidk boleh dan haram. Poligami hanya mungkin bisa
dilakukan seorang suami dalam hal-hal tertentu, misalnya ketidak mampuan
seorang istri untuk mengandung atau melahirkan. Dia mencatat bahwa Islam membolehkan
poligami tetapi dituntut harus adil. Dari syariat ini menurut Abduh, dapat
dirinci menjadi 3 kondisi : pertama, kebolehan poligami sesuai dengan kondisi
dan tuntutan zaman. Kedua, syarat bisa adil merupakan syarat yang sangat berat.
Ketiga, bahwa seorang suami yang tidak melaksanakn syarat-syarat yang dituntut
dalam berpoligami, ia harus melakukan monogami. Bagi Abduh poligami merupakan
sesuatu perbuatan yang harann jiika untuk kesenangan.
Menurut Fadzlu Rohman, ada dua solusi yang
diberikan Al-Quran hubungannya dengan poligami. Pertama, bahwa poligami yang
terbatas hukumnya boleh. Kedua, kebolehan poligami diatur dengan sebuah moral
berupa keadilan. Dengan ini Al-Quran
berharap agar suatu masyarakat berjalan sesuai dengan tuntutan zaman.
Pada tahun 1930 Al-Tahir Al-Hadad (w.1905)
menerbitkan bukunya yang berjudul Imratuna fi Al-Syari’ah wa Al-mujtama’, dalam
buku ini menyebutkan bahwa perkawinan poligami merupakan salah satu tradisi
buruk jahiliyah yang ingin diberantas islam secara bertahap. Pentahapan dalam
penghapusan perkawinan ini tampak dari perintah Nabi untuk hanya mempertahankan
4 istri dari jumlah yang lebih banyak dan menceraikan yang lain.,kemudian Allah
membebani suami dengan syarat bertindak adil kepada para istri dan hanya
memiliki seorang istri jika khawatir tidak bisa berbuat adil hingga kemudian
menyatakan bahwa berbuat adil kepada istri adalah sesuatu yang tdak mungkin
dilakukan.
Menurut Ali Asghar Engineer ayat tentang
poligami pada dasarnya muncul dalam rangka menegakkan keadilan pada perempuan.
Menurut lacakan sejarah pada masyarakat pra-Islam, seorang laki-laki bisa
melakukan perkawinan poligami dengan jumlah istri yang tidak terbatas. Para
suamilah yang berhak memutuskan siapa yang ia sukai dan nikahi perempuan
berapapun ia menginginkan. Sementara perempuan tinggal menerimaa takdir tampa
ada kesempatan untuk mempertanyakan proses keadilan.
Al-Quran tidak menerima keadaan seperti ini,
karena proyek dasarnya adalah untuk memberdayakan perempuan meskipun ada
keterbatasan-keterbatasan tertentu dari masyarakat yang ada, al-quran menerima
kenyataan bahwa perempuan adalah korban ketidakadilan. Namun al-quran sendiri
juga realistis, bahwa meberdayakan perempuan dalam pengertian yang absolut (
memberi status kesetaraan perempuan dengan laki-laki disegala hal) bukanlah
cara yang mudah dalam masyarakat seperti ini. Oleh karena itu menurut Asghar
Ali al-quran mengambil cara ideologis pragmatis. Dengan membatasi kebolehan
poligami dengan jumlah maksimal 4 orang istri, al-quran bermaksud menawarkan
solusi alternatif bagi upaya pemberdayaan perempuan yang tetap bisa diterima
oelh masyarakat tertentu.
Namun demikian kata Asghar Ali, al-quran
sendiri agaknya dengan berat, bahkan enggan menerima institusi poligami. Tetapi
karena hal ini tidak dapat diterima
dalam padangan situasi yang ada, maka al-quran membolehkan laki-laki
untuk kawin hingga 4 istri. Namun demikian hal itu bukan tanpa syarat, poligami
hanya bisa dilakukan dengan syarat keadilan kepada istri-istrinya.
SUMBER :
Sumadi, 2017. PENGEMBANGAN EPISTIMOLOGI FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM
DI PERGURUAN TINGGI INDONESIA : Studi Kasus Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah
IAID Ciamis. (Jurnal )
Sumadi, 2017. ISLAM DAN SEKSULAITAS : BIAS GENDER DALAM HUMOR
PESANTREN. ( Jurnal )
Juhri, Burhanudin. PENGGUNAAN HADITS-HADITS POLIGAMI DALAM TAFSIR
IBNU KATSIR. ( Jurnal Musawa UIN SUKA )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar