Minggu, 07 Januari 2018

ICEP MAULANA MH. AS/V/SYARI'AH/IAID

NAMA                        : ICEP MAULANA MANSUR HIDAYAT
NIM                            : 15.02.1845
FAK/PRD/SMT          : SYARI’AH / AS / V.
MATA KULIAH       : GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM
DOSEN                      : DR. SUMADI, M.Ag
TANGGAL                : 5 Januari 2017
TUGAS                       : RIVIEW JURNAL

JUDUL JURNAL KE- 1     : PENGEMBANGAN EPISTIMOLOGI FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM DI PERGURUAN TINGGI INDONESIA : Studi Kasus Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Ciamis
VOL & HAL                                     : Vol.12 No.1 Tahun 2017
PENULIS                              : DR. Sumadi, M.Ag ( Dosen Pascasarjana IAID Cms )
REVIEWER                                     : Icep Maulana. MH (Mhs. Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Cms)

POTRET EPISTIMOLOGI FEMINIS DALAM RANAH AKADEMIS DI PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYAH IAID CIAMIS
Fakultas Syari’ah program studi Ahwal Syaikhsiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis menjadi salah program studi yang mengkaji hukum keluarga Islam dengan mendasarkan pada pengembangan epistemologi berperspektif feminis di Indonesia. Sebuah perspektif kritis yang bertujuan untuk mengubah keadaan atmosfir akademik yang cenderung berpihak pada salah jenis kelamin tertentu menuju keadaan yang berkesetaraan. Padahal perspektif feminis dalam dunia akademik belum mendapat sambutan yang serius dari perguruan tinggi Islam. Cara pandang yang patriarki masih mendominasi atmosfir akademik perguruan tinggi Islam. Kajian Islam yang menjadi basis kajian hukum keluarga Islam di Fakultas Syari’ah khususnya program studi Ahwal Syaikhsiyah  masih merujuk pada sumber fiqh-fiqh yang telah mapan di lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Padahal jika melihat perempuan dalam fiqh, maka perempuan ditempatkan sebagai objek laki-laki, posisinya sebagai domestik, dan dalam konteks sosial harganya setengah dari laki-laki dan kuasanya di bawah laki-laki.
Para feminis muslim meyakini bahwa kesetaraan gender adalah misi yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Secara teologis ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist dipandang memiliki keberpihakan yang kuat terhadap pembelaan atas penindasan terhadap perempuan. Oleh karena itu gender masuk dalam kajian Islam didasari oleh keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sejak disebarkan risalahnya oleh Nabi Muhammad SAW memberi perhatian yang serius untuk melakukan pembebasan terhadap perempuan sebagai kaum yang tertindas.
Program studi Ahwal Syaiksiyah yang disebut juga dengan hukum Islam tentang keluarga memuat kurikulum yang berisi matakuliah tentang kajian hukum di lingkungan keluarga. Hukum-hukum yang terkait dengan keluarga masih didominasi oleh norma hukum yang patriarki. Oleh karena itu pengembangan epistemologi feminis sebagai basis pengembangan atmosfir akademik yang dapat mewujudkan keberpihakan pada keadilan perempuan menjadi keniscayaan. Pengembangan epistemologi feminis di Program Studi Ahwal Asyaikhsiyah IAID Ciamis melalui berbagai program kegiatan.
Pusat Studi Perempuan (yang kemudian disingkat PSP) di Institut Agama Islam Darussalam Ciamis (yang kemudian disingkat dengan IAID Ciamis) digagas langsung oleh rektor. Dengan berlatarbelakang sebagai akademisi alumnus pendidikan doktor dari Universitas Gadjah Madha Yogyakarta, pemahaman yang memadai tentang multikulturalisme dan kesetaraan gender, rektor mendirikan PSP sebagai episentrum pengembangan kajian Islam yang berperspektif feminis. Oleh karena itu PSP diposisikan menjadi motor penggerak bagi program studi di lingkungan IAID Ciamis untuk mengembangkan kurikukulum, pembelajaran, kajian, dan penelitian yang berperspektif feminis.
PSP merupakan istitusi yang berfokus pada pendampingan program studi di lingkungan IAID agar menerapkan perspektif gender dalam pengembangan perkuliahan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. PSP didirikan sebagai bentuk respon atas atmosfir akademik yang didominasi oleh cara pandang yang patriarki. Oleh karena itu pengurus PSP merupakan dosen-dosen laki-laki dan perempuan di lingkungan program studi dan lintas fakultas yang memiiki kepedulian terhadap perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Kegiatan studi, kajian dan advokasi tentang kesetaraan gender oleh beberapa dosen dan mahasiswa berdampak pada ketertarikan civitas akademika IAID untuk memperkuat peran PSP sebagai pendamping fakultas dan program studi untuk mengembangkan perspektif feminis dalam spesifikasi pembidangan keilmuan.
Visi perspektif feminis masuk dalam kerangka matakuliah filsafat ilmu, metode penelitian, Kesetararaan Gender dan Hukum Islam.   Secara khusus terdapat penambahan matakuliah kesetaraan gender dan Hukum Islam. Matakuliah ini disajikan pada semester 4 sebagai dasar memberi perspektif feminis pada matakuliah yang lainnya. Kemudian visi umum Fakultas menekankan kurikulum yang memperhatikan perkembangan jaman, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Tiga elemen dalam pertimbangan pengembangan kurikulum menjadi satu kesatuan yang memperkuat penghargaan atas hak-hak perempuan. Matakuliah-matakuliah yang berbasis pada hukum dan ajaran Islam secara umum diorientasikan menggunakan basis baru yaitu adanya cara pandang kajian hukum Islam yang berkesesuaian dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai kemanuisan dari substansi kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Terdapat tiga matakuliah yang menjadi dasar pengembangan perspektif feminis. Yaitu Metodologi Studi Islam, Keadilan Gender dan hukum Islam, metode penelitian, dan teknik penulisan skripsi/proposal skripsi.
Pengembangan kapasitas dosen untuk memahami epistemologi perspektif feminis dalam kajian Islam dilakukan dengan beberapa program di antaranya: pertama, pengiriman dosen-dosen pada pelatihan-pelatihan gender. Kedua, pelibatan dosen pada kepengurusan Pusat Studi Perempuan. Ketiga, Program studi Ahwal Syaikhsiyah mendorong para dosen untuk melakukan penelitian dengan epistemologi feminis sebagai basis pengembangan disiplin ilmu-ilmu keislaman.
Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip penelitian berperspektif feminis, dosen dan mahasiswa diarahkan untuk melakukan penelitian dengan topik-topik yang mempromosikan tentang nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender. Hasilnya secara umum untuk dosen, penelitian berperspektif feminis yang dihasilkannya cenderung masih sedikit. Di antaranya penelitian dengan judul Bias Gender dalam Kekerasan Rumah Tangga Berbasis di Lingkungan Rumah Tangga Muslim, Bias gender di Lingkungan Pesantren Salafiyah dan Modern di Indonesia, Islam dan Seksualitas Bias Gender pada humor-humor pesantren, dan lain-lain.Untuk mahasiswa hasilnya pada dua tahun akademik yaitu tahun 2014-2015 dan 2015-2016 mayoritas persen melaksananakan penelitian dengan perspektif feminis dengan tema-tema yang mengusung keadilan dan kesetaraan gender.
Kekuasaan politik kampus yang dimiliki oleh figur dan kelompok yang memiliki kesadaran pembelaan terhadap ketertindasan perempuan secara akademis seperti di program studi Ahwal Syaiksiyah Institut Agama Islam Darussalam Ciamis dan beberapa perguruan tinggi Islam lain di Indonesia dapat menjadi cara yang efektif dalam membangun keasadaran akademis yang ramah perempuan. Melalui epistemologi berperspektif feminis dalam kajian Islam secara sistematis akan dapat mengubah wajah dunia akademis kampus yang melakukan pembebasan atas perempuan dari ketertindasan dan diskriminasi.

JUDUL JURNAL KE- 2     :  ISLAM DAN SEKSUALITAS : BIAS GENDER DALAM HUMOR PESANTREN
VOL & HAL                                     : Vol.19 No.1 Tahun 2017
PENULIS                              : DR. Sumadi, M.Ag (Dosen Pascasarjana IAID Cms )
REVIEWER                                     : Icep Maulana. MH (Mhs. Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Cms)

SPEKTRUM BIAS GENDER DALAM HUMOR PESANTREN
Humor menjadi bagian penting dalam pelembagaan budaya pesantren, akan tetapi humor-humor di pesantren sering mengabaikan nilai-nilai yang menghargai kesetaraan gender, seperti stereotof terhadap perempuan, objektifikasi seksualitas perempuan dan dometifikasi perempuan. Pemahaman Islam Pesantren yang patriarki menjadi akar pembentukan tema-tema humor yang mengekploitasi tubuh dan seksualitas perempuan. Kajian humor dan seksualitas di lingkungan pesantren di Indonesia termasuk yang luput dari perhatian.
Islam yang bias gender di pesantren ditandai dengan dominasi pemhaman Islam Patriarki . cara pandang pesantren sampai saat ini masih mempertahankan pemikiran Islam yang konserfatif.implikasinya perempuan secara hirarkiss dalam budaya pesantren tidak mendapat tempat yang setara. Urusan-urusan publik menjadi hak laki-laki. Dalam interaksi sosial budaya pesantren mendefinisikan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan intelektual dan kecepatan fisik yang lebih rendah dibandng laki-laki.
Humor di pesantren yang mengandung bias gender pada perempuan terlembaga dalam buday pesantren yang disosialisasikan melalui interaksi sosial sehari-hari oleh para santri, guru dan kyai dalam ceramah umum oleh para kyai di pesantren maupun dalam pembelajaran dan nasehat dalam acara pernikahan, bahkan disalah satu pesantren ada yang secara khusus mempublikasikan tema-tema humor dalam bentuk buku yang dicetak resmi, seperti di pesantren Miftahul Huda Manonjaya.
Tema-tema yang menempatkan perempuan dan tubuh perempuan sebagai objek humor melembagakan ideologi bias gender dengan penekanan pada stereotif, objetifikasi dan domestifikasi terhadap perempuan. Perempuan di puja puji tubuhnya tetapi dihinakan derajat dan hak-haknya.contoh singkat bias gender dalam humor-humor pesantren dijabarkan sebagai berikut :
a.       Stereotif Terhadap Perempuan
“aki-aki ompong lamun boga imah sigrong, balong ngemplong, mobil ngadangdong, najan pipi kemong, parawan oge pasti noong, komo randa nu nong nong”.
Dalam contoh ini perempuan diidenfikasikan sebagai sosok yang lemah, memiliki ketergantungan yang tinggi pada laki-laki, dan laki-laki dapat membeli perempuan dengan harta yang dimilikinya.
b.      Objektifikasi Seksualitas Perempuan
“Wahai anderok, dulu bentukmu menembang seperti batok, yng dipotong memakai golok, kau sangat panjang bagaikan balok, dan tebal seperti tembok, sehingga tidak mudah ditengok, oleh mata-mata jorok, tapi kau semakin pondok, pahanya yang montok tidak sedikit laki-laki yang mencoba merampok, kemaluanmu yakni tempat keluar orok, wahai pengguna androk, apakah imanmu sudah menjadi rontok, sehingga kemaluanmu tidak lagi kau patok”.
Dalam contoh ini bagian tubuh perempuan yang sensitif menjadi sasaran humor.
c.       Domestifikasi Perempuan
“Elmu mangrupa hiji sarana, pikeun nangtukeun bagja na jalma, loba contona, jalma nu sangsara, gara-gara teu boga elmu .....”.
Dalam contoh ini perempuan ditempatkan pada tempat yang tersubordinasi. Jika humor-humor temanya tentang pemimpin, orang berilmu, dan orang kaya konteksnya adalah laki-laki. Tetapi jika humor temanya tentang pengabdian, kesetiaan dan pengorbanan pasangann konteksnya menunjukan perempuan.

JUDUL JURNAL KE-3      : PENGGUNAAN HADITS-HADITS POLIGAMI DALAM TAFSIR IBNU KATSIR
PENULIS                              : Saifudin Zuhri Qudsy ( Dosen UIN SUKA Yogyakarta)
                                                  Mamat. S. Burhanudin ( Dosen UIN Jakarta )
REVIEWER                                     : Icep Maulana. MH (Mhs. Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Cms)

PANDANGAN PARA MUFASSIR KONTEMPORER ATAS QS. AN-NISA :3 ( AYAT POLIGAMI )
Menurut Sayyid Qutub (w.1996) mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Maka bisa dlakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan inipun masih disyaratkan bisa berbuat adil kepada istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, muamalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja. Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh poligami maksimal dengan 4 istri.
Menurut Al-Sabuni menekankan pada hikmah kebolehan poligami. Namun sebelum menjelaskan hilmah poligami Al-sabuni lebih dahulu menekankan jumlah wanita yang boleh dinikahi maksimal hanya 4. Pendapat ini didasarkan atas ijma’ ulama. Kebolehan poligami maksimal 4 ini pun bisa dilakukan ketika dalam keadaan darurat dengan syarat berbuat adil.
At-Tabrani dalam mizan lebih dahulu mengemukakan sebab turunnya An-Nisa :3 menurutnya ayat ini turun berkenaan dengan kebiasaan orang Arab pra-Islam yang menikahi anak yatim karena kecantikannya dan hartanya. Tetapi, mereka tidak memberikan mahar sejumlah yang diberikan kepada wanita diluar anak yatim. Bahkan, ada pria yang ketika hartanya habis kemudian istrinya dicerai. Maka turunnya ayat ini menujukkan kepada mereka bahwa perbuatan demikian meruakan perbuatan tercela.
Muhammad Abduh menyimpulkan bahwa poligami adalah perbuatan yang tidk boleh dan haram. Poligami hanya mungkin bisa dilakukan seorang suami dalam hal-hal tertentu, misalnya ketidak mampuan seorang istri untuk mengandung atau melahirkan. Dia mencatat bahwa Islam membolehkan poligami tetapi dituntut harus adil. Dari syariat ini menurut Abduh, dapat dirinci menjadi 3 kondisi : pertama, kebolehan poligami sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Kedua, syarat bisa adil merupakan syarat yang sangat berat. Ketiga, bahwa seorang suami yang tidak melaksanakn syarat-syarat yang dituntut dalam berpoligami, ia harus melakukan monogami. Bagi Abduh poligami merupakan sesuatu perbuatan yang harann jiika untuk kesenangan.
Menurut Fadzlu Rohman, ada dua solusi yang diberikan Al-Quran hubungannya dengan poligami. Pertama, bahwa poligami yang terbatas hukumnya boleh. Kedua, kebolehan poligami diatur dengan sebuah moral berupa keadilan. Dengan ini  Al-Quran berharap agar suatu masyarakat berjalan sesuai dengan tuntutan zaman.
Pada tahun 1930 Al-Tahir Al-Hadad (w.1905) menerbitkan bukunya yang berjudul Imratuna fi Al-Syari’ah wa Al-mujtama’, dalam buku ini menyebutkan bahwa perkawinan poligami merupakan salah satu tradisi buruk jahiliyah yang ingin diberantas islam secara bertahap. Pentahapan dalam penghapusan perkawinan ini tampak dari perintah Nabi untuk hanya mempertahankan 4 istri dari jumlah yang lebih banyak dan menceraikan yang lain.,kemudian Allah membebani suami dengan syarat bertindak adil kepada para istri dan hanya memiliki seorang istri jika khawatir tidak bisa berbuat adil hingga kemudian menyatakan bahwa berbuat adil kepada istri adalah sesuatu yang tdak mungkin dilakukan.
Menurut Ali Asghar Engineer ayat tentang poligami pada dasarnya muncul dalam rangka menegakkan keadilan pada perempuan. Menurut lacakan sejarah pada masyarakat pra-Islam, seorang laki-laki bisa melakukan perkawinan poligami dengan jumlah istri yang tidak terbatas. Para suamilah yang berhak memutuskan siapa yang ia sukai dan nikahi perempuan berapapun ia menginginkan. Sementara perempuan tinggal menerimaa takdir tampa ada kesempatan untuk mempertanyakan proses keadilan.
Al-Quran tidak menerima keadaan seperti ini, karena proyek dasarnya adalah untuk memberdayakan perempuan meskipun ada keterbatasan-keterbatasan tertentu dari masyarakat yang ada, al-quran menerima kenyataan bahwa perempuan adalah korban ketidakadilan. Namun al-quran sendiri juga realistis, bahwa meberdayakan perempuan dalam pengertian yang absolut ( memberi status kesetaraan perempuan dengan laki-laki disegala hal) bukanlah cara yang mudah dalam masyarakat seperti ini. Oleh karena itu menurut Asghar Ali al-quran mengambil cara ideologis pragmatis. Dengan membatasi kebolehan poligami dengan jumlah maksimal 4 orang istri, al-quran bermaksud menawarkan solusi alternatif bagi upaya pemberdayaan perempuan yang tetap bisa diterima oelh masyarakat tertentu.
Namun demikian kata Asghar Ali, al-quran sendiri agaknya dengan berat, bahkan enggan menerima institusi poligami. Tetapi karena hal ini tidak dapat diterima  dalam padangan situasi yang ada, maka al-quran membolehkan laki-laki untuk kawin hingga 4 istri. Namun demikian hal itu bukan tanpa syarat, poligami hanya bisa dilakukan dengan syarat keadilan kepada istri-istrinya.





SUMBER :

Sumadi, 2017. PENGEMBANGAN EPISTIMOLOGI FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM DI PERGURUAN TINGGI INDONESIA : Studi Kasus Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah IAID Ciamis. (Jurnal )
Sumadi, 2017. ISLAM DAN SEKSULAITAS : BIAS GENDER DALAM HUMOR PESANTREN. ( Jurnal )
Juhri, Burhanudin. PENGGUNAAN HADITS-HADITS POLIGAMI DALAM TAFSIR IBNU KATSIR. ( Jurnal Musawa UIN SUKA )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar